AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR
Soal:
Apa
sebenarnya yang dimaksud dengan amar makruf nahi mungkar? Apa pula yang
dimaksud dengan mengubah kemungkaran (taghyîr al-munkar)?
Jawab:
Amar
makruf nahi mungkar merupakan salah satu ciri yang hanya dijumpai pada kaum
Muslim; tidak ada pada umat-umat lain. Bahkan keistimewaan umat Islam justru
dicirikan dengan adanya sifat amar makruf nahi mungkar. Banyak ayat yang
menyebut tentang amar makruf nahi mungkar dan menggandengkannya dengan
sifat-sifat kaum Muslim. (Lihat: QS Ali Imran [3]: 110).
Menurut mufasir al-Qasimi, sifat tersebut (yakni amar makruf
nahi mungkar, pen.) menjadi keutamaan yang Allah berikan kepada umat
Islam, dan tidak diberikan kepada umat-umat lain (Al-Qasimi, Mukhtashar Min
Mahâsini at-Ta‘wîl, hlm. 64, Dar an-Nafa’is).
Yang
disebut dengan makruf menurut timbangan syariat Islam adalah setiap itikad
(keyakinan), perbuatan (amal), perkataan (qawl), atau isyarat yang telah
diakui oleh as-Syâri‘ Yang Mahabijaksana dan diperintahkan sebagai
bentuk kewajiban (wujûb) maupun dorongan (nadb). (Dr. Muhammad
Abdul Qadir Abu Faris, Amar Ma‘ruf Nahi Munkar, hlm. 19, Darul Furqan).
Dengan
demikian, beriman kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya; pada Hari Akhir, surga dan
neraka, dan lain-lain dianggap sebagai perkara yang makruf dan diperintahkan,
serta terkait dengan itikad (keyakinan/keimanan). Pelaksanaan shalat, shaum,
zakat, haji, sedekah, berjihad fi sabilillah dan sejenisnya; tercakup di dalam
perbuatan-perbuatan (amal) yang makruf. Mengucapkan kata-kata yang haq,
memerintahkan untuk menjalankan kewajiban agama, dan melarang terjerumus dalam
hal-hal yang diharamkan; juga tergolong pada perkara yang makruf.
Jadi, makruf disini berarti al-khayr (kebaikan). Oleh
karena itu, amar makruf berarti perintah atau dorongan untuk menjalankan
perkara-perkara yang makruf (kebaikan), yang dituntut atau didorong oleh akidah
dan syariat Islam.
Sebaliknya, yang dinamakan dengan mungkar menurut timbangan
syariat Islam adalah setiap itikad (keyakinan/keimanan), perbuatan (amal),
ucapan (qawl) yang diingkari oleh as-Syâri‘ Yang Mahabijaksana
dan harus dijauhi (Abu Faris, ibid, hlm. 20, Darul Furqan).
Dengan demikian, syirik kepada Allah, percaya pada ramalan
bintang dan dukun, menyandarkan nasib pada mantera-mantera dan paranormal, dan
sejenisnya, adalah keyakinan yang mungkar. Begitu pula minum-minuman keras
(khamar), berzina, mencuri, ghîbah, berdusta, bersaksi palsu, tajassus
(memata-matai) seorang Muslim, korupsi, suap, meminta bantuan militer kepada
negara kafir untuk memerangi sekelompok umat Islam, tunduk pada dominasi
negara-negara kafir, menelantarkan urusan rakyat, mengambil harta milik
masyarakat (milik umum) tanpa legislasi syariat, menjalankan hukum thâghût
(selain hukum Islam), dan sejenisnya; termasuk tindakan-tindakan mungkar.
Jadi, mungkar di sini berarti as-syarr (keburukan).
Oleh karena itu, nahi mungkar berarti perintah untuk menjauhi perkara-perkara
yang mungkar (keburukan), yang dihindari oleh akidah dan syariat Islam. Amar
makruf nahi mungkar diwajibkan oleh syariat Islam. (Lihat: QS Ali Imran [3]: 104).
Adapun
taghyîr al-munkar (mengubah kemungkaran) adalah juga diwajibkan atas
setiap Muslim. Hanya saja, caranya telah ditentukan oleh Rasulullah saw. Beliau
bersabda:
«مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَاِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ،
وَ ذَلِكَ اَضْعَفُ اْلإِمَانِ»
وَ ذَلِكَ اَضْعَفُ اْلإِمَانِ»
Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran,
hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya; jika
tidak mampu, hendaklah dengan hatinya. Akan tetapi, yang demikian itu adalah
selemah-lemahnya iman. (HR
Muslim).
Menurut
Qadli Iyadh, hadis itu terkait dengan sifat-sifat seseorang tatkala mengubah
kemunkaran. Orang yang hendak mengubah kemungkaran berhak mengubahnya dengan
berbagai cara yang dapat melenyapkan kemungkaran tersebut, baik melalui
perkataan maupun perbuatan (tangan). Jika seseorang memiliki dugaan kuat (yakni
jika diubah dengan tangan akan muncul kemungkaran yang lebih besar lagi,
seperti menyebabkan risiko akan dibunuh atau orang lain bakal terbunuh karena
perbuatannya), cukuplah mengubah kemungkaran itu dilakukan dengan lisan; diberi
nasihat dan peringatan. Jika ia merasa khawatir bahwa ucapannya itu bisa
berakibat pada risiko yang sama, cukuplah diingkari dengan hati. Itulah maksud
hadis tersebut (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, jilid II/25).
Berdasarkan hal ini, seseorang yang mampu mengubah
kemungkaran. Yang dimaksud dengan mengubah kemungkaran melalui hati adalah
menasihati pelaku kemungkaran, kemudian (jika hal itu dilakukan, atau tidak
mampu dilakukan karena adanya risiko kemungkaran yang lebih besar) memutuskan
hubungannya dengan kemungkaran dan pelakunya melalui tindakan: tidak duduk
bersama-sama pelaku yang tengah melaksanakan kezaliman atau tindakan mungkar;
tidak minum-minum (khamar) bersama-sama; tidak makan-makan (makanan yang haram)
secara bersama-sama dengan pelaku, tidak melayani/memfasilitasi dan mendorong
mereka melakukan kemungkaran; dan sebagainya.
Dari
paparan tersebut tampak bahwa pihak yang paling bertanggung jawab dalam
melakukan amar makruf nahi mungkar dan mampu mengubah kemunkaran dengan tangan
(kekuatan) adalah pemerintah atau negara. Negara memiliki seluruh pranata yang
memungkinkannya bisa menjalankan amar makruf nahi mungkar dan melenyapkan
kemungkaran dengan tangan (kekuatan)-nya seketika.
Masalahnya, di tengah-tengah kaum Muslim saat ini pemerintah
atau negara telah berubah menjadi dâr al-kufr, syariat Islam diganti
dengan sistem hukum thâghût, sekularisme dijadikan dasar negara,
kedaulatan bukan di tangan Allah Swt. melainkan manusia (yaitu rakyat),
kekufuran merajalela di seluruh lapisan, dari dasar hingga ke cabang-cabangnya,
ideolologi kufur (seperti Komunisme, Kapitalisme-Demokrasi dan semacamnya)
merajalela dan menjadi panutan kaum Muslim, bahkan dibelanya mati-matian.
Artinya, negara telah menjadi pelaku atau pemelihara kemungkaran itu sendiri.
Lalu apa yang harus kita lakukan?
Jawabannya, bahwa kaum Muslim saat ini harus terlibat dalam
proses taghyîr al-munkar secara global dan inqilâbî
(revolusioner). Caranya adalah dengan mengembalikan lagi sistem hukum Islam
melalui eksistensi negara yang mendasarkan diri, menjaga, melaksanakan dan
mempropagandakan akidah dan syariat Islam; yaitu melalui Negara Khilafah yang
merujuk pada manhaj Nabi saw. Tentu saja, semua itu harus melalui
tahapan/metode yang dilandasi oleh perjalanan Rasulullah saw. membangun Negara
Madinah, bukan berdasarkan metode lain.
Jika
di tengah-tengah kaum Muslim tidak terbersit upaya untuk mengubahnya, bahkan
dengan hati sekalipun (membiarkan dan tidak peduli dengan kondisi kaum Muslim
saat ini yang didominasi oleh kekufuran), berarti iman dalam dirinya telah
sirna, dan kemungkaran akan menyelimuti seluruh umat manusia. Pada akhirnya,
pintu azab Allah yang sangat pedih akan terbuka. Rasulullah saw. bersabda:
«وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ
عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلاَ
يُسْتَجَابُ لَكُمْ»
يُسْتَجَابُ لَكُمْ»
Demi jiwaku yang ada dalam genggamannya, kalian memerintahkah
kemakrufan dan mencegah kemungkaran atau Allah akan menimpakan azab atas
kalian, kemudian kalian berdoa kepada-Nya, lalu doa kalian tidak akan
dikabulkan. (HR at-Tirmidzi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar